Minggu, 15 April 2012

Teori-Teori pendukung penelitian Kuantitatif


Teori-teori pendukung penelitian Kuantitatif
Riset adalah sebuah penyelidikan sistematis untuk mencari jawaban-jawaban atas sebuah persoalan. Riset dalam bidang ilmu sosial professional – seperti halnya riset dalam subjek-subjek lainnya – secara umum telah mengikuti metode objektif tradisional. Para periset ahli mengklasifikasikan diri mereka dan sesama mereka dalam dua kelompok besar: kuantitatif dan kualitatif. Kali ini kita akan mempelajari jenis metodologi yang pertama.
Dalam metode ilmiah, metode riset kuantitatif digunakan dalam upaya untuk membangun hukum-hukum atau prinsip-prinsip umum. Pendekatan ilmiah seperti ini sering diistilahkan sebagai nomotetis dan mengasumsikan realitas sosial sebagai objektif dan eksternal terhadap individu (Burns, 2002: 3).
Riset kuantitatif merupakan riset empiris di mana data adalah dalam bentuk sesuatu yang dapat dihitung/ angka (Punch, 1988: 4). Seperti yang ditulis Punch, riset kuantitatif memerhatikan pada pengumpulan dan analisis data dalam bentuk numerik. Riset ini cenderung menitikberatkan pada serangkaian data yang relatif berskala besar dan representatif dan sering kali – disajikan dan diterima secara kurang tepat dalam pandangan kita – sebagai sesuatu tentang pengumpulan “fakta-fakta”.
Paradigma kuantitatif terdapat dalam mencari fakta-fakta atau sebab-sebab dari fenomena nasional, menggunakan cara-cara yang menonjol dan terkendali, berjarak dengan data/ objek/ perspektif “orang luar”, tidak mendasar dalam arti berorientasi untuk memverifikasi, cenderung “mengurangi” minoritas, sebab berasal dari paradigma deduktif-hipotesis. Paradigma kuantitatif berorientasi pada hasil, dapat dipercaya sebab diikuti oleh data yang kuat dan dapat ditiru, dapat digeneralisasikan – terkait dengan studi-studi multimasalah –, partikularistik, dan mengasumsikan realitas sebagai sesuatu yang stabil (Oakley, 1999: 156).
Banyak penulis tentang isu-isu metodologis membedakan antara penelitian kuantitatif dan kualitatif. Penelitian kuantitatif dinyatakan sebagai paradigma positivis sedangkan penelitian kualitatif dinyatakan sebagai paradigma fenomologis atau naturalistis. Paradigma postivis dinyatakan sebagai paradigma tradisional, eksperimental, atau paradigma empirisistis yang dikembangkan oleh para ahli sosiologi seperti Comte, Durkheim, dan Mill. Sementara paradigma naturalistik/ fenomologis dinyatakan sebagai pendekatan konstruktivis, interpretatif, atau pasca-positivisme atau pasca-modern dan dianggap sebagai paradigma countermovementterhadap tradisi positivis pada abad ke-19 yang dikembangkan oleh ahli sosiologi seperti Weber dan Kant (Creswell, 1994 : 49-50).

Positivisme menggambarkan pendekatan baru terhadap pengetahuan. Yang mendahului kehidupan intelektual dalam tahap positif adalah sosiologi. Aguste Comte adalah orang pertama kali menggunakan istilah positivisme dalam bukunya The Course of Positive Philosophy tahun 1838. Kemudian Emile Durkheim mengembangkan sosiologi positivisme dengan memberi demonstrasi awal yang sangat penting tentang metode ilmiah dalam sosiologi positivisme dalam bukunya Rules of Sociological Methode 1895. Durkheim kemudian menggambarkan metodologi yang dia teruskan dalam bukunya Suicide tahun 1897 (Horton dan Hunt, 1984: 16).
Salah satu ciri terpenting dalam sosiologi positivis adalah keyakinan bahwa fenomena sosial itu memiliki pola dan tunduk pada hukum-hukum determinis seperti layaknya hukum-hukum yang mengatur ilmu alam. Ini berarti paradigma ni mencerminkan keyakinan bahwa masyarakat atau kehidupan sosial merupakan bagian dari alam dan dikendalikan oleh hukum-hukum alam yang dapat ditemukan dengan menerapkan teknik ilmiah yang sama dalam penelitian seperti yang digunakan dalam ilmu pengetahuan lainnya. Comte menyetujuinya dalam pernyataan:… masyarakat sebagai suatu keseluruhan organic yang kenyataannya lebih dari sekadar jumlah bagian-bagian yang saling tergantung, tetapi untuk mengerti kenyataan ini metode penelitian empiris harus digunakan dengan keyakinan bahwa masyarakat merupakan suatu bagian dari alam seperti halnya gejala fisik.
Pada intinya penelitian kuantitatif dapat dikonstruksi sebagai strategi penelitian yang menekankan pada kuantifikasi dalam pengumpulan dan analisis data dengan pendekatan deduktif untuk menghubungkan antara teori dan penelitian dan penelitian dengan menempatkan pengujian teori. Oleh karena itu, penelitian kuantitatif merupakan sebuah penyelidikan tentang masalah sosial berdasarkan pada pengujian sebuah teri yang terdiri dari variable-variabel, diukur dengan angka, dan dianalisis dengan prosedur statistic untuk menentukan apakah generalisasi prediktif teori tersebut benar (Creswell, 1944: 1-2).
Proses penelitian kuantitatif menurut Bryman (2005: 63) adalah dimulai dari teori, hipotesis,research design, memilih research site(s), memilih subjek/ responden riset, mengumpulkan data, hipotesis, memproses data, menganalisa data, dan menuliskan kesimpulan – untuk kemudian kembali menjadi awal dari segalanya, teori.
Jadi ketika topik dan masalah sudah dipilih, bagaimana menetukan bagaimana riset dilakukan agar diperoleh solusi yang tepat atas masalah yang diteliti? Menurut Creswell memilih paradigma penelitian sebagai pendekatan atau strategi penelitian dilakukan setelah peeliti merasa cocok dengan fokus masalah dan masalah penelitian (Hussey dan Hussey, 1977: 115). Ini berarti sebelum mengonstruksi penelitian adalah penting bagi periset untuk menentukan paradigma penelitian sebab karena ada perbedaan antara paradigma positivis/ kuantitatif dan paradigma fenomologis/ kualitatif.
Misalnya jika sifat masalah yang diteliti oleh periset pernah diteliti oleh peneliti lain sehingga tersedia banyak bahan bacaan, variabel diketahui, dan tersedia teori-teori, maka paradigma kuantitatif jauh lebih cocok digunakan. Sementara bagi sifat permasalahan yang bersifat eksploratif, variabel tidak diketahui, konteks penting, dan kurang teori dasar, paradigma kualitatif akan menjadi pilihan sangat tepat bagi periset.

1 komentar:

  1. Mas numpang tanya, untuk penelitian kuantitatif apakah bisa menggunakan teori penunjang atau teori pendukung atas teori yg sudah digunakan? Yang saya ketahui bahwa teori penunjang hanya digunakan pada penelitian kualitatif. Mohon pencerahannya mas. Boleh balas via email aja ya mas romifarhumi@gmail.com

    BalasHapus